Kelebihan Dalam Kekurangan

Pada malam Ahad, hari Sabtu tanggal, 27 November 2010, lalu saya menonton salah satu tanyangan acara TV yaitu Kick Andi,  di Metro TV, jam 22.00 WIB, memang biasanya acara itu pada malam Jum’at, tapi kenapa ini malam Ahad ada acara itu, karena saya memang menyukai acara tersebut maka saya mencermatinya, ternyata malam itu menampilkan tema yang tidak seperti biasanya tetapi tema “gerakan 1000 kaki palsu”, yang dipelopori oleh Bapak Sugeng dan orang-orang yang telah menerimanya beserta relawan dan donaturnya, serta beberapa orang yang telah menerimanya. Saya jadi kagum dan terharu, ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang perduli dan tanpa melalui birokrasi yang panjang dan berbelit membantu saudara kita yang lain yang kebetulan mendapat ‘anugrah’  karena cacat kaki.( mengutip salah satu pernyataan dari narasumber penerima kaki palsu itu di acara tersebut, bahwa kecacatannya bukanlah musibah tapi anugrah kelebihan karena tidak semua orang memiliki ‘kelebihan’ tersebut.

Mencermati acara tersebut, membuat saya teringat salah satu sahabat baik adikku, di kampung halaman, karena dia memang akrab dan berumur sepantaran dengan adik bungsuku, walaupun saya juga mengenalnya dengan baik karena kami sering bertemu, bermain catur  atau sekedar berbincang-bincang, di serambi masjid dekat rumah. Temanku itu sebut saja namanya Teguh, memang sejak lahir dikurniai kaki yang tidak sempurna. Itulah kenapa orang tuanya memberi nama Teguh  karena berharap dia menjadi anak yang teguh hati dan imannya walaupun memiliki kekurangan, kakak sulungnya adalah teman satu kelas dengan aku saat sekolah dasar. Sahabatku itu ketika masih usia balita memang agak sedikit minder walalupun dari segi wajah sebenarnya termasuk kategori tampan dengan kulit yang putih bersih, saya masih ingat ketika saya secara tak sengaja melewati rumahnya dan kebetulan anak ini sedang bermain di luar, dia langsung memanggil ibunya, karena mungkin merasa malu jika ’ditonton’, padahal sama sekali dalam benak dan hati kami, tidak sedikitpun terlintas pikiran untuk ’menonton’nya, apalagi sengaja melihat kekurangannya, tapi memang karena kami ‘harus’ melewati rumahnya karena pulang dari rumah kakek kami, atau habis pulang menggembala domba-domba kami.

Seiring berjalan waktu ketika temanku Teguh ini harus masuk sekolah dasar karena sekolah yang terdekat adalah sekolah umum, maka oleh orang tuanya dia dimasukkan ke sekolah umum, berbaur dengan teman teman lain yang normal. Dan seiring itu pula temanku ini rasa mindernya sedikit demi sedikit hilang. Dia sudah terbiasa  berkumpul, bermain, berlarian, main bola dan banyak kegiatan lain sewajarnya anak-anak saat usia sekolah dasar, walaupun dengan kaki tidak sempurna. Yang membuatku kagum adalah, dia tidak mau memakai penyangga ( kruk ) bukan karena orang tuanya tak bisa membelikan tetapi lebih karena dia  merasa kurang bisa bergerak  dengan bebas dan lincah itu saja. Dia lebih senang mamakai sebatang tongkat dari bambu seperti kebiasaannya sejak kecil ( dan tongkat itupun dia buat sendiri ), dan itu menurutnya itu malah bisa menjadikannya bebas dan lincah untuk bergerak, berlari, bahkan sering juga bermain bola bersama teman-teman sebayanya, tidak ada rasa sedikitpun  kikuk, canggung dan rendah diri. Dia memang tergolong anak yang enerjik. Teman-temannya pun juga menganggap bahwa dia anak yang normal, karena memang dia tidak mau diistimewakan membani orang tua, atau teman-temannya, karena kekurangnya. Bahkan jika ada kerja bakti saat mengepel masjid menjelang Ramadhan, dia bisa membawa ember berisi air dengan satu tongkat dan tangan satunya  memengang ember air, itulah kenapa otot-otot tangannya menjadi kuat, karena terbiasa bekerja keras mengangkat dan menjunjung sesuatu walaupun dengan kaki yang tidak sempurna.

Hebatnya juga temanku ini rajin pergi ke masjid untuk mengaji dan sholat berjamaah, jika sehabis matahari tenggelam maka selalu masjid yang menjadi tempatnya berkumpul bersama teman, sampai-sampai sering tidur di masjid, agar tidak ketinggalan sholat shubuh. Kita sebagai orang normal saja kadang malah malas pergi ke masjid apalagi jika sedang sakit, atau kurang enak badan pastilah malas pergi sholat jamaah di masjid, tetapi temanku ini masjid sudah sepertinya sudah menjadi rumah yang kedua. Jika sholat walau hanya menggunakan, (maaf) dengan satu kaki dia bisa dengan sempurna ruku’ dan sujud kemudian kembali berdiri lagi, bahkan secara tak sengaja saya pernah perhatikan,ternyata keseimbangan tubuhnya benar-benar baik, karena dia tidak bergoyang sedikitpun ketika berdiri dengan satu kaki untuk sholat. Karena terbiasa kerja keras  memakai tongkat itu, menjadikan tubuhnya kekar, berisi, tangannya dan lengannya berotot, dan dadanya bidang, bahkan saya pernah secara bercanda adu panco dengannya, ternyata saya tidak bisa mengalahkannya, karena memang tangannya benar-benar kuat dan berotot, dan wajahnyapun terlihat tampan dan bersih. Ya benar seperti orang-orang sekarang yang sering melakukan fitnes body building.

Saya tidak tahu kenapa ketika lulus SD dia tidak melanjutkan sekolah lebih tinggi lagi, mungkin karena jarak SMP yang jauh dimana harus ditempuh dengan naik sepeda, walaupun temanku Teguh inipun sebenarnya bisa juga naik sepeda roda dua seperti temen-temennya yang lain walaupun agak kurang sempurna memang, atau karena orang tuanya punya pertimbangan lain, saya kurang tahu. Setahuku dia baru sekolah sampai lulus SD, dan selepas SD praktis kegiatannya kalau siang menggembala kambing dan membantu orang tuanya dan seperti biasa kalau malam dihabiskan di masjid, untuk mengaji, mendengarkan kami yang sudah agak dewasa berdiskusi menambah ilmu agama, berkumpul teman-teman, atau kadang bermain catur ( salah satu permainan kesukaannya ) di serambi luar majid untuk menghabiskan malam, apalagi pada saat bulan puasa, dan tidur di masjid agar tidak ketinggalan sholat shubuh berjamaah.       

Hingga suatu ketika menjelang bulan Agustus, di desa kami diadakan lomba-lomba diantaranya lomba catur. Kami termasuk, temanku Teguh ini menjadi salah satu wakil dari wilayah kebayanan kami. Kami memasukkan dia menjadi team lomba catur karea dia memang pandai bermain catur, dan terbukti dia mampu melaju terus kebabak final, saya malah sudah kalah dibabak kedua Hasilnya dia menjadi juara III, tingkat desa. Berawal dari itu ada salah satu warga desa kami yang memperhatikan dan merasa terketuk hatinya melihat temanku Teguh ini, karena dalam kekurangannya ternyata memiliki kecerdasan otak dan kepandaian yang lain, dan dia ingin membantu. Saya ingat betul dia bertanya pada sahabatku ini apakah mau jika bersekolah lagi, dan kami tak mengira kalau pertanyaan itu bukan hanya sekedar basa-basi.

Entah bagaimana prosesnya karena saya memang masih sekolah dan kost di Jogya sehinga tidak begitu tahu persis perkembangan dari teman-teman kampung, ketika suatu hari saya saat pulang dari Jogya untuk mengambil ’jatah’ uang hidup bulanan, saya sudah mendengar khabar bahwa temanku Teguh, ini sudah sekolah di Magelang. Alhamdulillah, ucapku bersyukur, ternyata buah ketekunan dan ketaqwaan dari temanku ini akhirnya bisa dirasakan, bahkan ketika selesai sekolahnya dia langsung bisa bekerja di sebuah perusahaan swasta, kalau tidak salah di Magelang juga. Hingga suatu pagi di hari Raya Idul Fitri, saya melihat dia memakai kaos putih dan celana panjang jeans dan bersepatu kets putih berdiri tegak dan gagah layaknya orang normal. Saya mendekati dan menyalami sambil tersenyum menyapanya, dan berkata bahwa saya serasa melihat orang baru, kataku bergurau. Dia hanya tersenyum-senyum malu, sekarang sahabatku ini memakai kaki palsu, entah dari perusahaannya atau dari hasil keringatnya sendiri, karena saya merasa tidak etis menanyakannya. Yang jelas sekarang sahabatku Teguh ini bisa  berjalan seperti orang normal walaupun tidak selincah dulu ketika dia hanya memakai tongkat saja. Bahkan selang tidak berapa lama dia sudah menemukan jodohnya dan segera menikah. Sekarang sahabatku ini tinggal di Magelang, ( kalau belum pindah, karena setelah menikahpun saya jarang pulang kampung sehingga juga jarang mendengar khabar dari sahabat-sahabat di kampung) , dan sudah dikaruniai anak-anak yang normal tentunya, saat ini dia umurnya sekitar 35-an tahun  sepantaran adik bungsuku.

Itulah kisah sahabatku Teguh, yang memiliki kelebihan karena kekuranganya, yang tetap menjaga iman dan ketaqwaannya di tengah kekurangannya, yang menjadikan masjid sebagai rumahnya yang lain sebagai tempat mendekatkan diri pada-Nya dan yang tidak pernah putus asa mengharap ridho-Nya., jika kebetulan tulisan ini dibaca oleh siapapun yang kebetulan mengetahui lebih detil riwayatnya dari sahabatku ini, atau kebetulan mengenal sosok yang saya maksud, sampaikan salamku untuknya, ini hanya sekelumit, kisah nyata yang barangkali bisa diambil hikmahnya, bahkan sebagai rasa perhargaan yang tinggi kepada sahabat dan saudaraku seiman itu dariku karena keteguhannya yang patut ditiru oleh siapapun, semoga bermanfaat.     

Comments

Post a Comment