Orang Yang Setia Dengan Profesinya

Sebenarnya jika saya menulis ini tak ubahnya seperti berkaca pada diri sendiri. Diawali lulus sekolah dulu dan masuk dunia kerja, saya begitu menikmati pekerjaan yang sudah saya dapatkan dengan hasil mencari-cari sendiri melalui koran, walaupun saya hanya bekerja disebuah perusahaan swasta yang termasuk kategori menengah, tapi gaji saya waktu itu hampir sama dengan gaji seorang pegawai negara golongan IIC yang sudah bekerja selama 7 tahun. Disamping ini merupakan murni hasil pencarian saya sendiri juga karena dahulu informasi lowongan biasanya di koran atau dari informasi teman atau mendatangi langsung instansi yang kita ingin lamar.

Waktu itu tidak terpikirkan dan terlintas untuk mendaftar atau melamar menjadi pegawai negara. Berawal dari sebuah pertanyaan dari seorang dosen yang sedang ber-presentasi, pas hari kelulusan sekolah, kami ditanya : ”Siapa diantara kalian yang ingin menjadi pegawai negeri angkat tangan ?” . Apa jawaban yang didapat, tak satupun dari angkatan wisuda kami yang angkat tangan temasuk saya. Saya waktu itu hanya berkaca pada ayahku yang seorang pegawai negera kelas IIIA, sangatlah ngos-ngos-an untuk menyekolahkan kami anak-anaknya yang berjumlah lima. Sehingga waktu itu bila ingin menjadi pegawai negara dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai keinginan menjadi sukses.

Saya tidak tahu persis berapa gaji ayah waktu itu, hanya saja jika dilihat dari motornya yang sampai bulukan, dan  kadang roda depan dan belakangnya sampai sama-sama halusnya kaya ban dalam, bisa dikira-kira berapa penghasilan ayah. Jangankan untuk saving, untuk cukup satu bulan saja tidak mungkin, karena ayah juga harus banting tulang nyari tambahan dengan beternak ayam dan entah usaha apalagi, demikian juga dengan ibu juga membantu ayah mencari penghasilan tambahan. Itu sebabnya ketika ayah menjelang pensiun menawari saya untuk magang menjadi pegawai honorer di lingkungan tempat kerja beliau saya menolak dengan halus.  

Mungkin sangat bertolak belakang sekali dengan kondisi para pegawai negara jaman sekarang, karena sekarang, take home pay, seorang pegawai negara terendah yang baru masuk saja saya dengar hampir 1,6 juta rupiah. Hebat. Seandainya ayah masih hidup dan kerja degan standar pegawai negara sekarang yang sampai terakhir pensiun ayah adalah golongan III-E, mungkin saya dan adik-adik saya semua bisa menyelesaikan studi sampai S1, barangkali. Tapi semua memang sudah berlalu dan  sama sekali saya tidak menyesalinya, dunia memang berubah total 180 derajat, dulu sebelum krisis moneter tahun 1997, seorang pegawai negara merasa ngiri melihat para pegawai swasta, karena gaji berada jauh, tapi sekarang kebalikannya pegawai swasta rendahan sangat jauh dibanding pegawai negara yang baru masuk sekalipun, maka yang ngiri sekarang adalah para pegawai swasta. Itu sebabnya bila ada lowongan CPNS, antrinya luarbiasa, karena, memang sekarang pegawai negara sangat makmur, dengan berbagai macam fasilitas dan tunjangan yang diterima.Ya begitulah dunia, roda benar-benar berputar. Dan tulisan ini bukannya rasa iri dari hari saya, karena saya percaya apapun yang saya terima dan hadapi sekarang memang sudah menjadi garis hidup yang harus saya jalani dari Allah, SWT.

Hal itu juga yang ingin saya sampaikan, ketika beberapa waktu lalu sempat pulang ke kampung halaman dan mampir di pasar, dimana biasa saya mengantar ibu belanja. Di pojok, pasar ada sebauah warung wedang dan soto, yang sejak dahulu sampai sekarang masih sama bentuk dan cara berjualan. Sebuah warung wedang teh yang sederhana, dengan berbagai macam panganan khas, jadah goreng dan jajanan pasar lain. Di dekatnya ada warung soto yang masih sama juga, bedanya mungkin warung soto ini sekarang yang jualan anaknya. Tapi kalau warung wedang ini yang jual masih sama orangnya dengan 20 tahun lalu ketika saya masih sering mengantar dan menunggu ibu belanja di dalam pasar tiap paginya, dan di warung ini saya menikmati segelas teh hangat dan beberapa camilan, yang rasannya pun sama persis dengan segelas teh dua puluh tahun lalu. Hebat. Saya benar-benar kagum dengan sosok bapak penjual warung wedang ini. Dari dulu pakaian maupun cara menyajikan dengan kesederhanan dan kesahajaannya beliau melayani semua pelanggannya, masih sama persis.

Yang membedakan adalah wajahnya sekarang sudah terlihat tua dengan raut muka yang masih saja polos sedikit bertambah keriput dipipi dan dahinya ( walaupun dulu rasanya juga seperti itu ) dan pipinya (maaf) semakin kempot, tetapi terlihat sehat dan segar. Hanya wajah sederhana dan tulus itu tetap sama dan setia melanyani para pelanggan dengan sabar dan ikhlas. Saya kagum dengan bapak ini, yang begitu setia terhadap profesinya, saya tidak pernah tahu memang berapa anaknya, dan sekarang sudah menjadi apa mereka, dan si bapak ini sebenarnya juga tahu saya, mungkin karena bertahun-tahun tidak melihat, beliau pastilah lupa. Karena saya dan beliau juga jarang berkomunikasi. Saya hanya berpikir kenapa si bapak ini sepertinya begitu menikmati profesinya, mungkin itu yang membuat hidupnya nyaman dan itu barangkali yang membuatnya tetap sehat sampai sekarang.

Saya jadi teringat masa lalu ketika pertama bekerja, begitu setianya saya terhadap pekerjaan saya, hampir 13 tahun saya tidak pernah pinda kerja. Bahkan ketika banyak tawaran datangpun, saya tolak. Saya hanya berpikir, kalau memang rizki saya disini kenapa musti saya kejar dilain tempat. Tapi ketika perusahaan mulai goyah, barulah saya sadar,bahwa tidak selamanya saya harus disitu, dan saat tersadar itu ternyata dunia luar sudah berlari kencang, tapi aku masih saja berjalan dengan santai dan adem ayem.Apakah saya sudha tertinggal, Rasanya tidak, sekarang mungkin saya akan mulai  berlari lagi  mengejarnya, walau mungkin agak terlambat, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Saya percaya kalau kita berusaha dengan sungguh sungguh dan ikhlas menjalani hidup, seperti si bapak penjual wedang, pastilah kebahagian bisa diraih. Selagi kita bisa ikhlas terhadap pekerjaan kita, dan tulus bekerja untuk keluarga, pastilah Allah, SWT.,lebih tahu yang terbaik buat kita.Saya percaya 100% itu, karena sebenarnya kebahagian pastilah tidak hanya diukur dari materi saja, dan kebahagiaan memang adanya didalam data dan hati kita masing.-masing .Tersrah bagaimana kita merasakan, memandang dan mensikapinya. 

Comments