Oleh : Ustadz Abdullah Taslim Tausikal,ST., MA. sumber : www.muslim.or.id
Dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa
(di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam
hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun
penuh.” [HSR Muslim no. 1164].
Hadits yang agung ini menunjukkan
keutamaan puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal, yang ini termasuk karunia
agung dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, dengan kemudahan mendapatkan pahala
puasa setahun penuh tanpa adanya kesulitan yang berarti[1].
Mutiara hikmah
yang dapat kita petik dari hadits ini:
Pahala
perbuatan baik akan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali, karena puasa Ramadhan
ditambah puasa enam hari di bulan Syawwal menjadi tiga puluh enam hari,
pahalanya dilipatgandakan sepuluh kali menjadi tiga ratus enam puluh hari,
yaitu sama dengan satu tahun penuh (tahun Hijriyah)[2].Keutamaan
ini adalah bagi orang yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan sebulan penuh
dan telah mengqadha/membayar (utang puasa Ramadhan) jika ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas: “Barangsiapa yang (telah) berpuasa (di
bulan) Ramadhan…”, maka bagi yang mempunyai utang puasa Ramadhan
diharuskan menunaikan/membayar utang puasanya dulu, kemudian baru berpuasa
Syawwal[3].
Meskipun
demikian, barangsiapa yang berpuasa Syawwal sebelum membayar utang puasa
Ramadhan, maka puasanya sah, tinggal kewajibannya membayar utang puasa
Ramadhan[4].Lebih
utama jika puasa enam hari ini dilakukan berturut-turut, karena termasuk
bersegera dalam kebaikan, meskipun dibolehkan tidak berturut-turut.[5]Lebih
utama jika puasa ini dilakukan segera setelah hari raya Idhul Fithri, karena
termasuk bersegera dalam kebaikan, menunjukkan kecintaan kepada ibadah puasa
serta tidak bosan mengerjakannya, dan supaya nantinya tidak timbul halangan
untuk mengerjakannya jika ditunda[6].
Melakukan
puasa Syawwal menunjukkan kecintaan seorang muslim kepada ibadah puasa dan
bahwa ibadah ini tidak memberatkan dan membosankan, dan ini merupakan pertanda
kesempurnaan imannya[7].Ibadah-ibadah
sunnah merupakan penyempurna kekurangan ibadah-ibadah yang wajib, sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits-hadits yang shahih[8].Tanda
diterimanya suatu amal ibadah oleh Allah, adalah dengan giat melakukan amal
ibadah lain setelahnya[9].
( Tentang penulis : Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.,MA. Beliau adalah
Sarjana Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, saat ini beliau
sedang menempuh S2 di Jami’ah Malik Su’ud – King Saud University
(Riyadh-KSA) mulai September 2010, jurusan Chemical Engineering,
konsentrasi Polymer Engineering. Beliau adalah dewan pembina Yayasan
Bina Pengusaha Muslim dan Majalah Pengusaha Muslim. Beliau juga sebagai Dewan Pembina Konsultasi Syariah : www.konsultasisyariah.com; dan Yufid.TV. Beliau juga aktif
menulis dan menerjemahkan artikel-artikel Islam. )
Footnote :
[2] Lihat kitab Bahjatun Naazhirin (2/385).
[3] Pendapat ini dikuatkan oleh syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam asy Syarhul Mumti’ (3/100), juga syaikh Sulaiman ar-Ruhaili dan para ulama lainnya.
[4] Lihat keterangan syaikh Abdullah al-Fauzan dalam kitab “Ahaadiitsush shiyaam” (hal. 159).
[5] Lihat kitab asy Syarhul Mumti’ (3/100) dan Ahaadiitsush Shiyaam (hal. 158).
[6] Lihat kitab Ahaadiitsush Shiyaam, Ahkaamun wa Aadaab (hal. 158).
[7] Ibid (hal. 157).
[8] Ibid (hal. 158).
[9] Ibid (hal. 157).
Comments
Post a Comment